Wednesday, February 04, 2015

Pernikahan Nabi Muhammad saw


Pernikahan Nabi Muhammad saw Pada usia dua puluh lima tahun Muhammad bekerja pada Khadijah,seorang wanita terhormat di kota Mekkah, sebagai konsultan di sebuah kafilah yang hendak berangkat ke Suriah pada satu misi dagang. Muhammad melaksanakan tugas itu dengan sangat baik. Khadijah sangat terkesan dengan kejujuran, integritas dan kecerdasan Muhammad dalam berbisnis ditambah dengan kepribadiannya yang baik dan menyenangkan. Khadijah adalah seorang janda, setelah menikah dua kali, dan memiliki anak dari pernikahan keduanya. Atas ketertarikannya itu lalu Khadijah mengirimkan lamaran kepada Muhammad yang disampaikan melalui salah seorang pelayannya. Muhammad terkejut akan lamaran itu lalu beliau meminta pendapat pamannya, yang ternyata sang paman mendukungnya.

Pernikahan Nabi Muhammad saw

Pernikahan Nabi Muhammad saw


Maka berlangsunglah pernikahan itu dimana pada saat itu Muhammad saw berusia dua puluh lima tahun sementara usia Khadijah adalah empat puluh tahun. Itulah pernikahan pertama Muhammad saw. Meskipun berasal dari status sosial dan usia yang berbeda namun terbukti pernikahannya ini sangat bahagia dan pernikahan itu sendiri berlangsung selama 25 tahun.

Rasulullah saw berusia 50 tahun saat Siti Khadijah wafat pada usia 65 tahun. Setelah ditinggal wafat oleh Siti Khadijah, Rasulullah saw kemudian menikah lagi dengan seorang wanita tua bernama Saudah binti Zamah yang adalah janda Sakran bin Amar, salah seorang dari pembantu Rasulullah saw.

Sampai dengan usia 50 tahun Rasulullah saw hanya memiliki satu istri saja, barulah setelah ditinggal wafat Siti Khadijah, kemudian beliau menikahi beberapa orang istri. Poligami adalah hal yang biasa dalam masyarakatArab kala itu. Dan tak ada batasan mengenai berapa jumlah istri yang dapat dinikahi. Ibrahim as memiliki tiga istri, Daud dan Sulaeman memiliki banyak istri. Namun Rasulullah saw, berdasarkan perintah dari Allah SWT hanya menikahi 4 istri saja (dalam satu waktu). Semua istri yang beliau nikahi berstatus janda, kecuali Siti Aisyah yang adalah putri dari sahabat beliau tercinta, Abu Bakar Siddiq, yang pada masa kemudian menjadi penerus pertama setelah wafatnya Rasulullah saw. Siti Aisyah berusia 9 tahun saat orangtua beliau menjodohkannya dengan Rasulullah saw, ini sesuai adat di Arab kala itu. Pernikahannya sendiri berlangsung saat Siti Aisyah telah matang diusia 12 tahun. Kala itu para orang tua menikahkan anak perempuan mereka pada usia yang sangat muda. Dikarenakan oleh kondisi alam yang panas ditanah Arab menjadikan anak2 perempuan mencapai masa pubertas pada usia yang sangat muda. Itu adalah fenomena alam yang mempengaruhi kematangan usia seorang wanita, atau bisa disebut sebagai usia pernikahan yang dipengaruhi oleh faktor alam. Rasulullah saw memiliki kehidupan pernikahan yang sangat sukses dan bahagia. Adalah bagian dari pengorbanan pribadi Rasulullah saw yang telah menikahi wanita2 yang berusia lebih tua usianya dari usia beliau saw. Para wanita yang menikah dengan Rasulullah saw melakukannya atas kemauan sendiri. Tak satu pun dari mereka yang menikah karena paksaan. Rasulullah saw sangat baik dan adil terhadap istri-istrinya. Beliau saw memberikan contoh teladan yang sangat luar biasa dalam berurusan dengan istri-istri nya yang memiliki usia, karakter dan status sosial yang berbeda-beda itu.

Siti Khadijah adalah istri pertama, yang telah membuat pengorbanan besar bagi Rasulullah saw. Usia beliau jauh lebih tua dari Rasulullah saw. Setelah kewafatannya Rasulullah saw menikahi wanita yang lebih muda dari Siti Khadijah namun kenangan pada Khadijah selalu dihati Rasulullah saw. Setiap kali ada teman-teman Khadijah berkunjung, beliau saw selalu berdiri untuk menyambutnya. Jika beliau saw kebetulan melihat sesuatu yang dulunya merupakan milik Siti Khadijah atau sesuatu yang berhubungan dengan Khadijah, maka beliau saw selalu terbawa perasaannya. Beliau saw sering memuji Khadijah dihadapan istri-istri yang lain dan menekankan kebajikan dan mengagumi pengorbanan yang Siti Khadijah ra lakukan demi kepentingan Islam.

Pada satu kesempatan, Aisyah ra merasa kesal dan berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau selalu membicarakan wanita tua itu? Allah telah menganugerahkan istri-istri yang lebih baik, lebih muda dan lebih menarik kepada engkau” mendengar hal ini Rasulullah saw diliputi oleh perasaan gusar dan berkata:” O tidak, Aisyah! Engkau tidak tahu seberapa baik Khadijah bagiku”. Rasulullah saw memberikan cinta dan kasih sayang yang sama pada istri-istrinya. Di kesehariannya beliau saw memperlakukan istri2nya dengan sangat baik. Beliau tidak hanya membantu mereka dalam kegiatan rumah tangga mereka, tetapi juga selalu mencoba melakukan pekerjaan2 pribadi dengan tangannya sendiri. Dalam hal ini Hadhrat Aisyah ra mengatakan: “Beliau akan menambal pakaian dan sandal satu-satunya” Siti Aisyah pernah ditanya, ‘Bagaimana beliau terhadap keluarganya?” Dan dijawab “ beliau melayani keluarganya sampai tiba saatnya waktu sholat, pada waktu itu beliau akan pergi untuk melaksanakan sholat” ’Rasulullah tidak pernah rewel terhadap makanan yang dihidangkan, jika menyukainya beliau makan, dan jika tidak menyukainya beliau biarkan saja. (HR Bukhari dan Muslim).

Pernyataan serupa dari Hadrat Aisyah, istri baginda Rasulullah saw:
Rasulullah menambal sendiri sandalnya, menjahit pakaian dan melakukannya dirumah sebagai mana setiap orang melakukan dirumahnya. Beliau layaknya manusia biasa, memerah susu dombanya, dan melakukan tugas-tugas rumah tangga sendiri. (Tirmidzi).

Rasulullah dan Poligami

Jauh sebelum kedatangan Rasulullah saw poligami dipraktekkan oleh para nabi. Seperti telah disebutkan diatas bahwa Ibrahim as menikahi tiga orang istri, Daud dan Sulaeman juga memiliki beberapa orang istri. Itu adalah praktek yang sangat umum dari masyarakat untuk menikah lebih dari satu istri, dan tidak ada batasan untuk itu. Dan poligami tidak hanya di Arab melainkan juga dipraktekkan di seluruh dunia. Jadi menurut kebiasaan pada waktu itu maka Rasulullah saw pun melakukan poligami, dan itu beliau lakukan ketika usia beliau telah mencapai lebih dari lima puluh tahun. Kemudian turunlah wahyu dari Allah SWT kepada Rasulullah saw, yang menegaskan bahwasanya umat Islam dapat melakukan poligami, namun dengan pembatasan2 tertentu, sebagaimana firmanNya dalam Al-Qur’an:

Dan jika kamu khawatir bahwa kamu tak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lainnya yang kamu sukai: dua, atau tiga, atau empat, akan tetapi, jika kamu khawatir kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang perempuan saja atau kawinilah yang dimiliki tangan kananmu. Cara demikian itu lebih dekat untuk kamu, supaya tidak berbuat aniaya. Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan maskawin mereka dengan suka hati. Akan tetapi, jika mereka sendiri merelakannya untukmu sebagian dari padanya, maka makanlah pemberian itu sebagian sesuatu yang lezat dan sehat. (Quran, 4:4-5)

Jadi Islam mengijinkan poligami, dan batas dari istri dipersempit menjadi empat, sementara tidak ada batasan seperti itu sebelumnya. Izin itupun diberikan dengan syarat2 tertentu, seperti misalnya harus mengurus semua istri dengan baik dan memperlakukannya secara adil. Rasulullah saw menikah dengan lebih dari satu istri sesuai dengan budaya Arab, tapi tentu saja ada keistimewaan lain dari poligami beliau.

Rasulullah saw hadir sebagai model bagi kemanusiaan yang ideal dan sempurna dalam semua tahapan pengalaman manusia. Sebagai suami beliau baik, beliau hidup dengan satu istri dan dengan lebih dari satu, dengan yang tua dan yang muda, dengan janda dan yang bercerai, dengan yang menyenangkan dan yang murung, dengan yang terlalu percaya diri dan yang rendah hati, tetapi dalam semua kasus beliau saw adalah simbol kebaikan dan kenyamanan.
Rasulullah saw mengamati perintah-perintah dan peraturan-peraturan Alquran dan memecahkan masalah-masalah yang sulit menyangkut kehidupan sosial dan politik umat Muslim, Rasulullah saw mendorong umat Islam untuk berbagi pengetahuan yang mereka peroleh dengan Muslim lainnya. Untuk mendidik kaum perempuan beliau saw membutuhkan pembantu perempuan, dan untuk tujuan itu Rasulullah saw memerlukan wanita-wanita yang sangat terlatih. Cara ideal untuk memecahkan masalah ini adalah untuk secara pribadi melatih beberapa wanita, dan tidak ada yang bisa lebih baik dalam bidang ini, selain daripada para istri beliau saw.
Melalui pernikahan, Rasulullah saw telah menghapus perbedaan-perbedaan dan prasangka-prasangka yang menyangkut ras, etnis, budaya, suku dan kebangsaan dan mendorong kesalehan sebagai kriteria keandalan dan keunggulan. Beliau nikahi perempuan dari kalangan yang sangat sederhana dan sangat miskin, seorang gadis Koptik dari Mesir dan seorang Yahudi. Kala itu wanita bercerai dipandang sangat rendah dan biasanya tidak diperbolehkan untuk menikah kembali. Dengan menikahi seorang wanita yang telah diceraikan Nabi Suci Muhammad saw mengajarkan bahwa pernikahan semacam ini tidak hanya syah tapi juga baik demi untuk memberikan status terhormat dalam masyarakat bagi wanita itu.
.Dibandingkan dengan agama lain, Islam menyebar lebih pesat, dan karena sejumlah perintah dan peraturan menyangkut kaum perempuan hanya bisa disebarkan melalui kaum perempuan, maka istri-istri Rasulullah saw yang berasal dari tempat dan suku yang berbeda-beda, memiliki selera, kebiasaan dan temperamen yang berbeda-beda, menjadi sangat membantu dalam meng-edukasi kaum perempuan yang berasal dari yang berbeda-beda itu secara tepat.
Beberapa pernikahan Rasulullah saw bertujuan untuk menghapus kebiasaan tertentu yang berupa praktek dan adat kebiasaan yang tidak benar. Misalnya, ada kebiasaan umum bahwa anak angkat dianggap sebagai anak kandung, dimana anak angkat berhak atas semuanya seperti anak kandung, sedangkan saudara-saudara dekat diabaikan dan hak-hak mereka ditelentarkan. Jadi Islam menarik garis antara hubungan darah dan anak angkat, dan memberi mereka hak yang tepat apa yang layak bagi mereka. Secara praktis untuk membuat perbedaan antara anak-anak kandung dengan anak adopsi, Rasulullah saw menikahi Siti Zainab, mantan istri dari Sayidina Zaid, dimana Zaid merupakan seorang budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Rasulullah saw. Dengan cara ini beliau mendudukkan statusnya yang benar dari seorang anak angkat. Sebelumnya dimasyarakat Arab tidak diizinkan untuk menikah dengan janda atau mantan istri dari anak angkat.
Nasib janda dan anak yatim piatu diabaikan dalam masyarakat Arab, sehingga Rasulullah saw mencoba cara yang terbaik untuk mengangkat harkat dan martabat mereka, untuk membantu memecahkan masalah memberikan pelayanan dan perlindungan kepada janda dan anak-anak mereka di suasana damai juga dalam situasi perang ketika karena kematian sejumlah besar kaum laki-lakinya, kaum perempuan dibiarkan tanpa dukungan apapun. Beliau membuat pengikutnya menyadari bahwa mereka harus menjaga harkat, martabat dan kehormatan para janda dan anak yatim piatu. Salah satu cara terbaik untuk membangun hubungan dengan mereka adalah melalui pernikahan. Jadi Rsulullah saw telah memberikan contoh sendiri untuk para pengikutnya menikah dengan janda.
Pada masa itu tawanan dibawa dan dijadikan sebagai budak. Rasulullah saw membuat contoh dengan membebaskan mereka dengan uang tebusan dan pada beberapa kesempatan tanpa tuntutan apapun. Mereka juga didorong untuk menetap dengan bekerja, mendidik orang atau melalui perkawinan yang syah. Rasulullah saw tidak hanya membebaskan para budak, tetapi beliau juga menikahi dua wanita tawanan, untuk membuat sebuah contoh pribadi bagi para pengikutnya.
Beberapa pernikahan Rasulullah adalah upaya beliau untuk menyatukan pengikutnya dari klan dan suku yang berbeda dalam cinta dan kasih sayang, dan itu adalah alasan menikah dengan Juwairiyah ra, putri Harits, Kepala suku dari Bani al-Mustaliq. Hal yang sama juga alasan menikahi Safiyah ra yang berasal dari sebuah suku Yahudi. Dan dengan menikahi Maria ra yang Koptik, Rasulullah saw menjalin hubungan yang erat dengan penguasa Mesir.

0 komentar:

Post a Comment