Sunday, March 29, 2015

Hukuman Mati: Antara Perspektif HAM, Al-Quran dan Sunnah



Oleh: Imam Hanafi

BELUM lama ini Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar menyatakan jumlah orang meninggal dunia akibat penyalahgunaan narkoba mencapai 200 juta per tahun. Angka ini didasarkan pada World Drug Report 2013 oleh Organisasi Dunia Penanganan Narkoba dan Kriminal (UNODC). [200 Juta Orang Meninggal Akibat Narkoba per Tahun, Tempo.co, Kami, 26 JUNI 2014].

Sementara Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Benny Mamoto di Bitung Indonesia kini telah diteror narkoba dan pada tingkat darurat narkoba. Pasalnya, sedikitnya 50 warga negara Indonesia meninggal dunia akibat mengonsumsi narkoba.

Membandingkan jumlah korban tewas teror bom di Bali sebanyak 220 jiwa, Benny mengatakan, korban bom Bali setara dengan korban tewas akibat konsumsi narkoba selama 5 hari. [BNN: 50 Orang Tewas Tiap Hari di Indonesia akibat Narkoba, Newsmentro.com, 28 September 2013]

Sungguh angka yang sangat memprihatinkan anak bangsa harus merenggang nyawa tanpa nilai moralitas kemanusiaan sama sekali,dengan kata lain mereka mati konyol bahkan dalam bahasa fiqh mereka mati dalam kekufuran.Tidak berguna hidup mereka selama ini,terlebih saat sakaratul maut menjemput tidak sempat bertaubat,misi hidup dan visi kehidupan mereka gagal total dan di akhirat kelak mendapat adzab yang sangat berat,sungguh mereka menerima adzab sesuai dengangaya hidup bebas mereka didunia dengan mengabaikan syari’at Islam sebagai sistim dunia-akhirat yang telah diciptakan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk umat manusia.

Hukuman Mati dalam Islam dan HAM

Selama ini ada perbedaan mendasar melihat kasus hukuman mati dalam perspektik Hak Asasi Manusia (HAM) dan Islam. Kesuanya selalu dianggap berbenturan karena memang secara skriptural-tekstual Islam dan HAM selalu ada berbenturan.

Namun apabila diungkap teks-teks implisit, Islam secara substantive menawarkan gagasan-gagasan yang pro hak asasi manusia. Salah satu yang menjadi perdebatan terkait argumen Islam dan HAM adalah hukuman mati di mana menurut HAM bertentangan, sementara dalam Islam seolah mendukung hukuman mati.

Dalam HAM, penerapan hukuman mati digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, di samping melanggar Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).

Pasal 3 Deklarasi Universal: “Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.”

Jaminan ini dipertegas pula dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) sekaligus dikuatkan lagi oleh Protocol Opsional Kedua (Second optional Protocol) atas perjanjian Internasional mengenai hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati.

Dalam beberapa instrument, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah protokol tersendiri.Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Amerika, keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan yang paling berat.”

Keduanya mengatur bahwa hukuman mati harus hanya boleh dikenakan oleh sesuatu “keputusan final suatu pengadilan yang berwenang” sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif.

Hukuman Mati dalam Islam

Sementara dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan pelakunya dihukum mati terjadi pada tiga kasus.

لا يحلّ دم امرئ مسلم إلاّ بإحدى ثلاث : كفر بعد إيمان ووزن بعد إحصان وقتل نفس بغير نفس

“Tidak halal darah seseorang muslim kecuali sebab tiga hal: karena membunuh jiwa, seorang janda/duda berzina dan orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jamaah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Umumnya para fuqaha menyebut 7 macam hukuman-hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku kemaksiatan disebut hudud: zina, menuduh zina (qadzf), mencuri (sirq), merampok, menyamun (hirobah), minum minuman keras (surbah), dan murtad (riddah).

Hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan dalam hukum Islam bersifat tegas dan adil untuk semua pihak. Hal itu menjadi wajar karena hukum Islam bersumber kepada Al-Qur’an sedangkan Al-Qur’an mengklaim dirinya sebagai wahyu Allah yang tidak pernah salah (maha benar Allah dengan segala firman-Nya); “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. [QS Al-Baqarah [2]: ayat 147]

Selain itu Al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai hakim yaitu pemutus perkara atas semua permasalahan yang ada di mukabumi ini dan menyelesaikan setiap perselisihan diantara manusia, sebagaimana dalam Qur’an Surat 36 (Yaasiin) ayat 2 “Demi Al-Qur’an sebagai Hakim”.

Vonis yang dikeluarkan oleh mahkamah Islam melalui hakim didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an, hadist, dan hukum Islam yang sesuai dengan kedua sumber hukum yang utama tersebut.

Maka vonis itu pada hakekatnya dari hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, yang prosesnya melalui hakim dengan seizin Allah, sebagaimana dalam Qur’an Surat 4 ayat 64.

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya [313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”. [QS: An Nisa’ [4: 64]

Ketika Muhamad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam masih hidup, jabatan eksekutif, legislatip dan yudikatip masih dipegang oleh beliau, maka jika ada umat Islam yang melanggaran aturan Allah mereka datang kepada beliau selaku pemegang kekuasaan yudikatip, sebagaimana ayat di atas.

Setelah mereka berada dihadapan beliau, maka proses peradilanpun berjalan untuk menentukan hukuman sesuai Al-Qur’an dan putusan itu menjadi yurispundensi bagi hukum Islam. Setelah zaman Muhamad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam maka diangkatlah hakim untuk memutuskan perkara umat yang dilaksankan di Mahkamah Islam dan putusannya harus diterima sebagai putusan yang datangnya dari Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana dalam Qur’an Surat 4 ayat 65 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. [QS; An Nisa’ [4]: 65].


ORANG yang menerima dan melaksanakan putusan hakim berupa hukuman badan atau putusan lainnya seperti denda bahkan hukuman mati maka dimata Allah adalah mulia karena si terhukum sebagai pelaksana hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an.

Jadi tidak ada kehinaan dan kerendahan martabat atas si terhukum walaupun perbuatannya sangat memalukan dan atau kejam sekalipun. Oleh karena itu manusia pun dilarang menghina atau merendahkan si terhukum.

Salah satu dasar penyelesaian perselisihan diantara manusia dalam Islam adalah qishos yaitu hukuman yang setimpal dari perbutan manusia atas manusia yang lain. Sebagai contoh jika seseorang memukul maka hukumannya dipukul, bila seseorang merusak mata orang lain maka hukumannya mata si pelaku tersebut dirusak, bila seseorang membunuh maka dihukum bunuh demikian seterusnya. Sepintas memang kejam namun dibalik itu ada palajaran berharga bagi manusia, yaitu mendidik manusia supaya perbuatannya tidak semena-mena atas manusia yang lain.

Manusia akan berpikir berulang kali untuk berbuat kejahatan atas manusia lain karena hukuman yang didapat sesuai dengan perbuatannya. Kalau tidak mau dipukul jangan memukul, kalau tidak mau matanya dirusak maka jangan merusak mata orang lain, kalau tidak mau di hukum bunuh maka jangan coba-coba membunuh. Jadi untuk hukum qishos ini bersifat preventif sehingga kejahatan bisa dicegah sebelum terjadi mengingat hukumannya setimpal.

Dalam Islam, sebelum putusan hakim dieksekusi maka korban atau keluarga korban mempunyai hak untuk mencabut atau membatalkan putusan hakim, karena korban atau keluarga korban memaafkan tindakan si terhukum dan biasanya si terhukum diganjar dengan denda atau pembatalan itu menjadi penebus dosa bagi si korban, sebagaimana dalam Qur’an Surat 5 (Al-Maidah) ayat 45; “Dan Kami (Allah) telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [QS: Al Maidah [5]: 45]

Untuk kasus dengan putusan hukuman mati baik dirajam, digantung maupun dipancung, si terhukum sudah menyadari betul bahwa dia memang bersalah karena sebelum diadili oleh hakim, si terhukumlah yang datang untuk mendapat hukuman sesuai dengan hukum Islam.

Oleh karena itu sungguh terhormat di mata manusia dengan langkah yang diambil si terhukum, yaitu mengakui kesalahannya untuk menjalani proses hukum. Langkah ini seharusnya menjadi contoh bagi siapa saja yang mempunyai kesalahan atau melanggar aturan untuk diadili sesuai hukum Islam. Sedangkan bagi Allah, status si terhukum adalah mulia, karena proses kematiannya saat melaksanakan hukum Islam maka jaminannya adalah surga.

Kesimpulan yang bisa diambil dari hukuman dalam Hukum Islam, terlebih hukuman mati yang pertama adalah adanya kepastian hukum, karena jenis hukumannya sudah diketahui sesuai apa yang dilanggar, yang kedua, si terhukum terhormat dan mulia karena kematiannya sedang melaksankan hukum Allah sehingga jaminannya surga. Sedangkan yang ketiga, mampu mencegah kejahatan karena hukumannya berat sehingga stabilitas keamanan dalam masyarakat terjaga. Yang keempat memenuhi rasa keadilan karena hukumannya setimpal dengan perbuatannya. Yang kelima mendukung perikemanusian dan menghapus perikejahatan dari muka bumi.

Pada dasarnya, agama Islam tidak menetapkan hukuman mati kecuali pada kejahatan besar yang apabila dibiarkan maka akan mengakibatkan kerusakan dan menghilangkan rasa aman dan kedamaian dalam masyarakat. Beberapa kejahatan itu seperti pembunuhan terencana, penyerangan, perampokan atau merampas barang orang lain secara paksa di bawah ancaman senjata. Apabila korban pencurian terbunuh maka penguasa berhak menghukum mati pelakunya. Mereka juga berhak menghukum mati seorang pezina yang telah menikah (zina mukhsan) yang telah terbukti bersalah dengan empat orang saksi yang terpercaya.

Untuk membuktikan kesalahan adalah sebuah proses yang rumit dan membutuhkan keadaan spesial. Apabila diaplikasikan secara keseluruhan, hukum Islam telah terbukti dapat menciptakan kedamaian dan kemakmuran masyarakat. Itu adalah jalan keluar yang ditawarkan Islam untuk menangani masalah tersebut.

Pada dasarnya, ketika Islam menetapkan sebuah hukum seperti hukuman mati maka hal itu adalah atas dasar wahyu dan perintah Allah. Dia adalah Rabb yang Maha Esa yang telah menciptakan alam semesta ini. Hanya Dia-lah yang memiliki hak prerogatif untuk memberikan petunjuk dan menetapkan hukum.

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak adanya hukuman mati karena hanya Allah yang telah memberikan kehidupan dan Dia pula yang berhak menetapkan kapan hidupnya berakhir. Allah jugalah yang berhak menetapkan jenis kejahatan apa saja yang menuntut hal tersebut.

Pertanyaan semacam ini hanya mungkin ditanyakan oleh orang-orang yang merasa mampu membuat undang-undang sendiri untuk manusia. Ini memberi jawaban kepada mereka, “Kalian tidak pernah memberikan kehidupan kepada seseorang, lantas bagaimana kalian boleh mengambilnya?

Dua ribu tahun berlalu, syari’at Islam ditinggalkan manusia pada umumnya, seiring itu pula pertumpahan darah terjadi di mana mana. Di berbagai belahan bumi dengan dalih kemanusiaan otoritas akal manusia kemudian dikedepankan sebagai jalan hidup manusia manusia lalu apa yang didapat? Jutaan nyawa melayang tanpa dasar yang jelas, kecuali sebatas kepentingan dunia ansich,fakta riil saat manusia mempertuhankan dirinya sendiri semua sistem yang ada menjadi rancu dan tidak ada kepastian hokum. Termasuk di dalamnya mereka yang menolak hukuman mati dikarenakan alasan akalnya belaka. Padahal akal bukanlah Tuhan dan Tuhanpun bukan akal.

Dalam Surat Al-Baqarah, Allah berfirman;

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.“ (QS.Al Baqarah [2]:30).Wallahu’alam Bishawwab.*

0 komentar:

Post a Comment