Saturday, March 07, 2015

Biografi D.N Aidit

D.N. Aidit

Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan D.N. Aidit lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923. Ketika lahir, orangtuanya memberi nama: Achmad Aidit, dan oleh teman-temannya ia lebih akrab dipanggil "Amat".  Ayahnya bernama Abdullah Aidit, seorang mantri kehutanan. Kala itu, jabatan mantri cukup bergengsi di kalangan pribumi, dan ibunya bernama Mailan. Kedua orangtuanya berasal dari keluarga terpandang: ayah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur, sedangkan ibunya  anak dari Ki Agus Haji Abdul Rachman, seorang tuan tanah kaya.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa tokoh PKI ini berasal dari keluarga muslim yang taat. Abdullah Aidit, dulu ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah juga adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung, pendiri kelompok keagamaan Nurul Islam. Tak heran, masa kecil Aidit banyak diisi dengan kegiatan keagamaan, dan saat itu ia dikenal sebagai anak yang taat beribadah. Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya menghabiskan separuh waktu untuk belajar mengaji. Bahkan Aidit terkenal sebagai tukang Adzan di daerahnya Belantu karena suaranya yang paling keras. Aidit termasuk anak yang beruntung bisa mendapatkan pendidikan Belanda Holandsch Inlandsche School (HIS).
Seperti anak kebanyakan, Aidit juga melewati masa-masa remaja yang bandel. Tak jarang ia terlibat perkelahian antar geng di kampungnya, karena itu Aidit rajin berlatih tinju dan olahraga angkat besi. Suatu hari, adiknya yang bernama Murrad berkelahi dengan anak tangsi dan si adik ini mengadu pada Aidit . Diam-diam, Aidit melacak lawan adiknya itu, lalu berkata kepada Murrad, "Kau lawan saja sendiri!" Rupanya, Aidit tahu musuh adiknya sebanding dengan adiknya. Aidit dikenal mudah bergaul dan akrab dengan anak-anak geng yang lain karena mereka rata-rata satu sekolahan.
Tumbuh dewasa, atas seizin ayahnya, Aidit mengganti nama dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara atau disingkat D.N Aidit. Konon, keputusan merubah namanya itu sejak dirinya mulai suka membaca buku-buku politik dan meyakini filsafat Marxisme. Adit tumbuh menjadi anak muda yang kritis. Semangat anti-Belanda dan perjuangan antikelas ini bermula dari tambang yang jauhnya hanya 2 kilometer dari rumahnya. Nyaris setiap hari Aidit melihat buruh berlumur lumpur, mandi keringat, dan hidup susah, sementara orang Inggris dan Belanda hidup hura-hura. Berangkat dari peristiwa yang dilihatnya ini muncullah kepeduliannya terhadap ketidakadilan yang menimpa kaum buruh.
Dari Belitung, Aidit memutuskan hijrah ke Jakarta. Pada tahun 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang. Ia berhasil menjadi Sekjen PKI, lalu menjabat sebagai Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia pada masa itu.
Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang Jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S. Setelah era reformasi, begitu banyak versi sejarah yang muncul terkait peristiwa berdarah ini. Ada yang meyakini penculikan sejumlah Jenderal adalah bentuk rekaya penguasa untuk menumbangkan PKI.
Pasca meletusnya peristiwa penculikan itu, pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Militer kemudian melakukan penangkapan terhadap anggota PKI serta para tokoh partai itu. Ada ribuan nyawa melayang selama berlangsungnya operasi militer ketika itu. Tuduhan terhadap Aidit sebagai otak penculikan sejumlah Jenderal tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal pada 22 November 1965 (umur 42 tahun) dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.
Ada beberapa versi cerita tentang kematian DN Aidit. Pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum dieksekusi. Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. Versi kedua mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Hingga kini, tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
(inspired: wikipedia & berbagai sumber)

0 komentar:

Post a Comment